HIV-AIDS
dewasa ini masih dianggap sebagai kedaruratan atau permasalah global. Beberapa
hasil studi belakangan ini telah mengestimasikan bahwa perempuan menjadi
kelompok beresiko penyebaran HIV-AIDS. Laporan UNAIDS, 2004 menunjukkan bahwa
kemungkinan perempuan dan remaja putri tertular HIV-AIDS 2,5 kali dibandingkan
laki-laki dan remaja putra. UNAIDS melaporkan bahwa 67% kasus baru HIV dan AIDS
di negara berkembang ada pada kalangan usia muda (15–24 tahun). Dari jumlah
tersebut, 64% adalah perempuan dan remaja putri berusia 15–24 tahun. Tercatat
39,4 juta orang di dunia hidup dengan HIV-AIDS,
yang diperkirakan separuhnya adalah perempuan. Di Asia diperkirakan 8,2 juta
orang hidup dengan HIV-AIDS dimana 2,3 juta adalah perempuan. Sedangkan menurut
laporan terbaru KPAN, jumlah kasus AIDS di Indonesia berdasarkan jenis
kelamin pada tahun 2010 sebanyak 22.726 kasus. Sebanyak 16.731 kasus atau 73,62
persennya adalah laki-laki, sedangkan 5.911 kasus atau 26,01 persennya adalah
perempuan. Kasus ini jelas belum menggambarkan kondisi sebenarnya karena kasus
HIV-AIDS adalah fenomena gunung es dimana bagian yang tampak ke permukaan
hanyalah bagian kecil ketimbang data yang sebenarnya.
Perempuan
termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan virus yang kali
pertama ditemukan pada tahun 1981 di Amerika ini. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerentanan
perempuan terinfeksi HIV/AIDS yaitu:
1.
Biologis
Secara anatomis organ reproduksi perempuan letaknya tersembunyi,
sehingga tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan terutama
keluhan HIV-AIDS.
Disisi lain organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa (penampang)
yang luas sedangkan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis hal ini menyebabkan
mudahnya terjadi perlukaan/iritasi, sehingga bila terjadi penetrasi penis
dengan kekerasan/paksaan ataupun penis dengan gejala IMS (Infeksi Menular
Seksual) akan lebih memudahkan sperma bertahan lebih
lama dalam rongga vagina. Dilihat dari jumlah virus HIV, maka virus HIV di dalam sperma lebih banyak
dibandingkan jumlah virus HIV di dalam cairan vagina, sehingga perempuan
sebagai pihak yang menerima dan menampung sperma lebih besar kemungkinannya
untuk terinfeksi.
2.
Ketidakadilan
gender
Posisi tawar
perempuan tidak setara dengan laki-laki. Perempuan dikonstruksikan
sebagai seorang yang
bersikap penurut, pasif, sabar dan setia sebaliknya laki-laki dikonstruksikan berperan sebaliknya yakni dominan, agresif dan mengambil
inisiatif dalam hubungan seksual. Hal ini diperparah dengan stigma dilingkungan
masyarakat bahwa wajar jika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu
pasangan. Kondisi ini akan membuat perempuan
sebagai kelompok yang rentan terhadap penularan HIV-AIDS
3.
Ekonomi
Kerentanan perempuan secara ekonomi
seringkali terjadi dikarenakan perempuan tidak memiliki penghasilan
sendiri, sehingga kondisi ini akan memaksa perempuan tergantung dan patuh pada pasangan atau suami. Perempuan yang lemah dalam hal ekonomi juga tidak memiliki kekuatan untuk melindungi
dirinya sendiri terhadap berbagai macam ancaman
kesehatan. Pada tatanan tertentu, masalah ekonomi menjadikan sebagian perempuan
tidak bisa memilih dengan siapa dia akan menikah: kapan,
dengan siapa, dan bagaimana dia melakukan hubungan seksual.
4.
Sosial Kultural
Perempuan menjadi rentan karena adanya tradisi yang merugikan perempuan seperti
dijodohkan, dipaksa menikah, pernikahan dini, poligami, dipaksa jadi PSK, dsb. Hal ini diperparah
dengan stigma ganda
dalam masyarakat, bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang
cenderung disalahkan atas apa yang terjadi terhadap dirinya sendiri. Pandangan terhadap wanita yang terinfeksi HIV/AIDS adalah wanita tidak baik
perilakunya dan tidak bermoral, suatu keadaan yang memalukan dan kotor, sehingga menyebabkan sebagian wanita malu untuk mengakses informasi dan segan
untuk memeriksakan diri. Perempuan disosialisasikan sedemikian rupa
untuk menomorduakan kebutuhan kesehatan sesudah anggota keluarga.
5.
Informasi
Kurang meratanya akses informasi, konsultasi maupun bimbingan yang didapatkan
oleh perempuan menyebabkan dia rentan terhadap HIV-AIDS. Tidak adanya informasi yang mereka ketahui terhadap bahaya HIV-AIDS, inilah salah satu faktor mereka enggan melakukan pemeriksaan meskipun
ternyata telah melakukan perbuatan yang beresiko. Sebagian
dari mereka yang telah terinfeksi selalu menjadikan kondom sebagai solusi untuk
mencegah penularan padahal menurut beberapa penelitian kegagalan kondom dalam
pencegahan HIV/AIDS mencapai 33%, itu dikarenakan ukuran
pori-pori kondom terkecil adalah 5 mikron sedangkan ukuran virus HIV/AIDS
yakni sebesar 0,1 mikron, dengan demikian pori-pori
kondom sangatlah mudah untuk dilewati.
Permasalahan HIV-AIDS pada perempuan
kental dengan diskriminatif gender dimana perempuan tidak memiliki kekuatan sosial
dan ekonomi serta posisi tawar yang memadai untuk melindungi dirinya. Melihat
persoalan HIV-AIDS bukan sekedar persoalan medis tetapi lebih jauh ke persoalan
sosial. Upaya-upaya pencegahan dilakukan
dengan mengintegrasikan masalah gender, HIV-AIDS dan hak-hak perempuan sebagai
suatu mata rantai yang tidak terpisahkan.
Penulis:
Sulistyo Andarmoyo, S. Kep., Ns., M. Kes
1Wakil
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo
2Artikel pernah dipublikasikan di Seputar Ponorogo
Edisi 45. 04-10 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar