Rabu, 03 April 2013

PEREMPUAN DAN HIV/AIDS



HIV-AIDS dewasa ini masih dianggap sebagai kedaruratan atau permasalah global. Beberapa hasil studi belakangan ini telah mengestimasikan bahwa perempuan menjadi kelompok beresiko penyebaran HIV-AIDS. Laporan UNAIDS, 2004 menunjukkan bahwa kemungkinan perempuan dan remaja putri tertular HIV-AIDS 2,5 kali dibandingkan laki-laki dan remaja putra. UNAIDS melaporkan bahwa 67% kasus baru HIV dan AIDS di negara berkembang ada pada kalangan usia muda (15–24 tahun). Dari jumlah tersebut, 64% adalah perempuan dan remaja putri berusia 15–24 tahun. Tercatat 39,4 juta orang di dunia hidup  dengan HIV-AIDS, yang diperkirakan separuhnya adalah perempuan. Di Asia diperkirakan 8,2 juta orang hidup dengan HIV-AIDS dimana 2,3 juta adalah perempuan. Sedangkan menurut laporan terbaru KPAN,  jumlah kasus AIDS di Indonesia berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2010 sebanyak 22.726 kasus. Sebanyak 16.731 kasus atau 73,62 persennya adalah laki-laki, sedangkan 5.911 kasus atau 26,01 persennya adalah perempuan. Kasus ini jelas belum menggambarkan kondisi sebenarnya karena kasus HIV-AIDS adalah fenomena gunung es dimana bagian yang tampak ke permukaan hanyalah bagian kecil ketimbang data yang sebenarnya.

Perempuan termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan virus yang kali pertama ditemukan pada tahun 1981 di Amerika ini. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerentanan perempuan terinfeksi HIV/AIDS yaitu:
1.          Biologis
Secara anatomis organ reproduksi perempuan letaknya tersembunyi, sehingga tidak mudah terdeteksi bila ada keluhan terutama keluhan HIV-AIDS. Disisi lain organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa (penampang) yang luas sedangkan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis hal ini menyebabkan mudahnya terjadi perlukaan/iritasi, sehingga bila terjadi penetrasi penis dengan kekerasan/paksaan ataupun penis dengan gejala IMS (Infeksi Menular Seksual) akan lebih memudahkan sperma bertahan lebih lama dalam rongga vagina. Dilihat dari jumlah virus HIV, maka virus HIV di dalam sperma lebih banyak dibandingkan jumlah virus HIV di dalam cairan vagina, sehingga perempuan sebagai pihak yang menerima dan menampung sperma lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi.
2.         Ketidakadilan gender
Posisi tawar perempuan tidak setara dengan laki-laki. Perempuan dikonstruksikan sebagai seorang yang bersikap penurut, pasif, sabar dan setia sebaliknya laki-laki dikonstruksikan berperan sebaliknya yakni dominan, agresif dan mengambil inisiatif dalam hubungan seksual. Hal ini diperparah dengan stigma dilingkungan masyarakat bahwa wajar jika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu pasangan. Kondisi ini akan membuat perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap penularan HIV-AIDS
3.         Ekonomi
Kerentanan perempuan secara ekonomi seringkali terjadi dikarenakan perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri, sehingga kondisi ini akan memaksa perempuan tergantung dan patuh  pada pasangan atau  suami. Perempuan  yang lemah dalam hal ekonomi juga tidak memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri terhadap berbagai macam ancaman kesehatan. Pada tatanan tertentu, masalah ekonomi menjadikan sebagian perempuan tidak bisa memilih dengan siapa dia akan menikah: kapan, dengan siapa, dan bagaimana dia melakukan hubungan seksual.
4.        Sosial Kultural
Perempuan menjadi rentan karena adanya tradisi yang merugikan perempuan seperti dijodohkan, dipaksa menikah, pernikahan dini, poligami, dipaksa jadi PSK, dsb. Hal ini diperparah dengan stigma ganda dalam masyarakat, bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang cenderung disalahkan atas apa yang terjadi terhadap dirinya sendiri. Pandangan terhadap wanita yang terinfeksi HIV/AIDS adalah wanita tidak baik perilakunya dan tidak bermoral, suatu keadaan yang memalukan dan kotor, sehingga menyebabkan sebagian wanita malu untuk mengakses informasi dan segan untuk memeriksakan diri. Perempuan disosialisasikan sedemikian rupa untuk menomorduakan kebutuhan kesehatan sesudah anggota keluarga.
5.         Informasi
Kurang meratanya akses informasi, konsultasi maupun bimbingan yang didapatkan oleh perempuan menyebabkan dia rentan terhadap HIV-AIDS. Tidak adanya informasi yang mereka ketahui terhadap bahaya HIV-AIDS, inilah salah satu faktor mereka enggan melakukan pemeriksaan meskipun ternyata telah melakukan perbuatan yang beresiko. Sebagian dari mereka yang telah terinfeksi selalu menjadikan kondom sebagai solusi untuk mencegah penularan padahal menurut beberapa penelitian kegagalan kondom dalam pencegahan HIV/AIDS mencapai 33%, itu dikarenakan ukuran pori-pori kondom terkecil adalah  5 mikron sedangkan ukuran virus HIV/AIDS yakni sebesar 0,1 mikron, dengan demikian pori-pori kondom sangatlah mudah untuk dilewati.

Permasalahan HIV-AIDS pada perempuan kental dengan diskriminatif gender dimana perempuan tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi serta posisi tawar yang memadai untuk melindungi dirinya. Melihat persoalan HIV-AIDS bukan sekedar persoalan medis tetapi lebih jauh ke persoalan sosial.  Upaya-upaya pencegahan dilakukan dengan mengintegrasikan masalah gender, HIV-AIDS dan hak-hak perempuan sebagai suatu mata rantai yang tidak terpisahkan.   



Penulis:
Sulistyo Andarmoyo, S. Kep., Ns., M. Kes
1Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo
2Artikel pernah dipublikasikan di Seputar Ponorogo Edisi 45. 04-10 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar